Dari sini, maka syarat diterimanya ibadah adalah sebagai berikut.
1. Niat yang ikhlas karena Allah Ta'ala semata.
Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ...." (Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya." (HR Bukhari, dari hadits Umar bin Khatbtbab). Apabila ilmu itu tidak didasari dengan niat yang ikhlas, dia berubah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan yang paling hina. Apabila ada yang bertanya bagaimana caranya agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu, jawabannya bahwa ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa cara.
Pertama, harus berniat bahwa menuntut ilmu itu untuk menjalankan perintah Allah. Kedua, harus berniat untuk menjaga syariat Allah. Karena, menjaga syariat Allah itu bisa dilakukan dengan belajar, baik dengan cara menghapal, menulis, juga mengarang kitab. Ketiga, harus berniat untuk membela syariat Allah. Karena, seandainya tidak ada ulama, maka syariat ini tidak akan terjamin kebenarannya, juga tidak ada seorang pun yang akan membelanya. Keempat, harus berniat untuk mengikuti ajaran Rasulullah. Karena, seseorang tidak mungkin bisa mengikuti ajaran beliau kecuali jika orang itu mengetahuinya terlebih dahulu.
Berangkat dari sini, maka hendaklah setiap penuntut ilmu selalu konsisten untuk memurnikan niat dari semua yang akan merusak komitmen, seperti senang popularitas, ingin lebih unggul dibanding dengan teman sebayanya, atau menjadikannya alat mencapai tujuan tertentu, misalnya pangkat, kekayaan, kehormatan, dll. Karena, itu semua jika sudah mengotori niat seorang penuntut ilmu, ia akan merusaknya, dan lenyaplah barokah ilmu itu. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu wajib menjaga niat dari segala tujuan selain ikhlas, bahkan ia pun harus menjaga hal-hal yang meliputinya.
Imam Sufyan rhm. berkata, "Dulu saya mampu memahami Al-Qur'an, namun tatkala saya menerima hadiah, maka hilanglah kepahaman itu." Adapun yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah dari seorang penguasa. Para ulama sangat memahami masalah ini, sehingga mereka sangat hati-hati menerima pemberian penguasa. Mereka berkata, "Para penguasa itu tidak akan memberikan sesuatu apa pun kepada kita, kecuali untuk membeli agama kita dengan harta dunia mereka." Oleh karena itu, kita dapati para ulama tersebut tidak bersedia menerimanya. Juga, disebabkan oleh karena harta kekayaan para penguasa pada zaman dahulu itu biasanya diperoleh dengan cara yang tidak halal.
Sesungguhnya telah kita ketahui bersama bahwa seorang ulama tidak boleh menerima pemberian penguasa kalau memang bertujuan untuk menjadikannya tunggangan sehingga dapat mengendalikannya. Adapun kalau harta kekayaan sang penguasa tersebut bersih dan sang alim menerimanya tidak untuk menjual agamanya, maka diperbolehkan menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Umar r.a., "Harta ini kalau datang kepadamu tanpa engkau harapkan dan tanpa engkau minta, maka ambillah, juga selagi tidak diinginkan oleh nafsumu." (HR Bukhari dan Muslim). Adapun tujuan Imam Sufyan dari perkataan beliau di atas adalah untuk memperingatkan orang lain dari perkara ini dan mencela apa yang dulu beliau lakukan.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Sa'id ats-Tsauri rhm., bahwasannya beliau berkata, "Tidak ada sesuatu yang aku usahakan untuk diperbaiki yang lebih berat daripada keikhlasan niatku."
Tuesday, 7 July 2009
ADAB-ADAB terhadap DIRI SENDIRI
Posted by Menyelami Lautan Hati Seorang Wanita at 7/07/2009 09:27:00 pm
Labels: Akhlaq
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment